Aktivitasnusantara.Com-Rencana pengesahan Revisi KUHP terlalu buru-buru. Dikarenakan draft terbaru belum juga terpublikasi. Mengingat dikalangan masyarakat saat ini hanya memiliki draft versi tahun 2019. Sedangkan dalam daraft tahun 2019 tersebut menuai kontroversi, mulai dari pasal 218 tentang penghinaan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 tentang penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 353/354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembag-lembaga negara dan menyampaikan pendapat di muka umum.
Jika kita melihat sejarah terkait upaya perubahan KUHP itu yang pertama dimulai dari Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie (WvS) Stb No. 732 tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918, yang kedua adalah adanya UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan UU No. 7 tahun 1958 memberlakukan WVS sebagai Peraturan Hukum Pidana Nasional dan upaya pembaruan KUHP dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), dan yang ketiga adalah Seminar Hukum Nasional Pertama (I) tahun 1963 yang menghasilkan resolusi antara lain desakan untuk diselesaikannya KUHP Nasional Tahun 2015 Pemerintah melakukan pembahasan RUU KUHP dengan DPR serta pada tahun 2019 yang lalu.
Melihat semangat perubahan yang ingin dilakukan bangsa ini dalam rencana revisi KUHP kurang lebih sudah 98 tahun lamanya. Namun pada akhir-akhir ini jika kita melihat Pemerintah dan DPR belum lagi mempublikasi draft RKUHP yang terbaru. Namun perlu dipertanyakan apakah ada permasalahan didalam draft tersebut, sehingga belum terpublikasi atau karena kekehawatiran Pemerintah dan DPR dalam menghadapai gelombang masyrakat yang berkepentingan untuk melakukan aksi dan demontarsi seperti yang pernah dilakukan pada tahun 2019 lalu.
Jika kita melihat isi dari pasal 218 terkait merendahkan harkat dan martabat presiden dan wakil preside yaitu “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Sebagaian masyarakat ada yang berpandangan bahwa kepala negara dan wakilnya dapat dipandang sebagai personifikasi dari negara itu sendiri. Mungkin di negara lain, terutama di negara-negara barat dewasa ini masyarakatnya mempunyai pandangan lain, akan tetapi di Indonesia masyarakatnya masih mempunyai rasa hormat yang kuat terhadap Presiden dan Wakil Presidennya.
Namun ada yang berpendapat bahwa dengan adanya pasal 218 RKUHP akan menciderai nilai-nilai demokrasi dan semangat reformasi 1998. Karena Pasal tersebut diatas mengandung multitafsir. Dalam artian, bahwa tidak ada batasan secara kongrit yang dijelaskan bahwa apa yang disebut dengan kritik dan mana yang disebut sebagai penghinaan.
Adapun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. MK telah membatalkan pasal-pasal penghinaan di KUHP lama karena dinilai akan merusak tatanan demokrasi di indonesia dan berpotensi menyalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap kepala negara.
Adapun pasal yang kontroversi yaitu Pasal 273 RKUHP yang memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara. Namun dalam pasal tersebut bukan saja menertibkan ketertiban umum, namun juga dapat membungkam kebebasan menyampaikan pendapat. Karena takut dengan ancaman pidananya.
Belum lagi Pasal 240 tentang penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 353/354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembag-lembaga negara ini menuai kontroversi karena makna dari penghinaan itu sendiri sangat luas. Oleh karena itu menuai berbagai macam perbedaan pendapat di kalangan masyrakat. Ada yang mempertanyakan, bahwa jika semangat perubahan revisi KUHP dengan semangat Dekolonilisasi kenapa harus ada pasal-pasal tersebut diatas. Kenapa tidak dihilangkan saja. Ini seperti kembali di jaman penjajahan.
Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi yang secara massif dikalangan masyrakat agar masyarakat dapat memahami apa maksud dari tujuan pembaruan RKUHP di indonesia. Sampai hari ini masyarakat dibingungkan dengan berbagai macam pendapat oleh ahli hukum, LSM, organisasi kemahasiswaan dan lain-lain. Sehingga menimbulkan kecurigaan tertentu pada lembaga-lembaga yang memprodak Undang undang.
Pemerintah dan DPR seharusnya mempublikasikan draft RKUHP tersebut, agar masyarakat dapat memaham apa makna dan isi dari RKUHP. Oleh karena itu kami menghimbau Pemerintah dan DPR untuk mempublikasikan draft tersebut.(07)