Aktivitasnusantara.Com-Tren rokok elektrik belakangan masih populer di kalangan lapisan masyarakat. Dengan intervensi pengurangan dampak buruk tembakau yang kerap digaungkan untuk kampanye berhenti merokok.
Hal ini tercermin dari tren pemakaian produk tembakau alternatif seperti vape, tembakau yang dipanaskan (HTP), dan snus yang semakin meningkat dan menarik perhatian pemerintah di berbagai belahan dunia.
Belakangan muncul perdebatan mengenai efisiensi rasa likuid (flavour) dalam menurunkan angka prevalensi merokok.
Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Aryo Andrianto mengatakan fenomena penggunaan produk tembakau alternatif seperti vape kian populer karena masyarakat semakin mendapatkan ilmu tentang kelebihan rendah risiko kesehatan yang ada.
Industri vape di tanah air juga memiliki prospek dan kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja.
“Saat ini industri vape mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 80-100.000 tenaga kerja. Kami meyakini vape akan terus berkembang selama 10 tahun ke depan, inovasi-inovasi akan terus berjalan dan pelaku usaha pun akan bertumbuh,” kata Aryo dalam keterangannya, Jumat (24/6).
Lebih lanjut, Ketua Asosiasi Vapers Indonesia (AVI), Johan Sumantri mengaku industri yang berkembang ini membutuhkan penelitian yang lebih banyak untuk mendukung pemahaman publik serta formulasi kebijakan yang lebih akurat.
Johan berharap untuk menyamakan komitmen komunitas, industri, dan pemerintah dari sisi sistem dan regulasi. Ia menyebut sinkronisasi misi menjadi awalan yang penting dalam mencapai tujuan bersama.
Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menekankan bahwa pemahaman terkait rokok konvensional lebih bahaya dari elektrik kurang tepat.
Rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok konvensional. Kandungan yang terdapat dalam rokok elektrik antara lain nikotin, zat kimia, serta perasa/flavour yang bersifat toxic/racun.
Jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, zat-zat ini bisa menyebabkan masalah kesehatan serius di masa depan seperti penyakit kardiovaskular, kanker, paru-paru, tuberkulosis, dan lainnya.
“Merokok elektrik itu sama bahayanya dengan merokok konvensional. Tidak ada bedanya risiko merokok konvensional dan elektrik, dua-duanya sama bahayanya baik itu sekarang dari segi sosial ekonomi maupun untuk masa depan masalah penyakit yang mungkin timbul dari aktivitas merokok elektrik,” kata Dante dikutip dari siaran pers.
Menurut Dante, konsumsi rokok elektrik di kalangan remaja turut berdampak pada tingginya prevalensi perokok elektrik di Indonesia. Dari hasil survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021 menunjukkan prevalensi perokok elektrik naik dari 0,3 persen (2011) menjadi 3 persen (2021). Kemudian, prevalensi perokok remaja usia 13-15 tahun juga meningkat sebesar 19,2 persen.(My07)